Film yang diangkat berdasar dari kisah nyata ini dimulai dengan menampilkan kehidupan seorang keturunan Afrika-Amerika yang terlahir merdeka bernama Solomon Northup (Chiwetel Ejiofor) sebelum akhirnya ia bertemu dengan 2 orang penipu yang mengaku sebagai penyelenggara sirkus yang ternyata berniat untuk menculik solomon untuk dijual di pasar budak.

Film ini berlatar pada tahun 1843 di Saratoga, New York, Amerika Serikat pada masa pra-perang sipil Amerika. Solomon adalah seorang violinis andal yang kiprahnya diakui di Saratoga. Hidupnya berubah drastis ketika suatu hari ia didatangi oleh penipu yang mengaku akan mengajaknya ke Washington D.C dan menawarkannya bayaran sebagai pemain biola. Sesampainya di Washington D.C, mereka bertiga makan dan meminum wine dengan sangat banyak dan Solomon masih tak menyadari gelagat dua orang aneh yang baru dikenalnya tersebut hingga akhirnya ia terkulai lemas karena mabuk. Dua orang penipu tersebut akhirnya membawa Solomon yang dalam keadaan tak sadarkan diri ke sebuah penampungan budak milik seorang bernama Burke. Ia hanya mendapatkan pukulan dan pecutan dari Burke ketika mencoba menjelaskan bahwa ia adalah manusia merdeka. Didalam penampungan tersebut ia bertemu dengan para budak lain yang akan dijual oleh Burke.

Singkat cerita, Solomon bersama yang lainnya sampai di New Orleans dan diberi nama “Platts” dengan latar belakang seorang budak yang kabur dari Georgia lalu dijual oleh Theophilus Freeman dan dibeli oleh William Ford (Benedict Cumberbatch) seorang pemilik kebun dari Louisiana.

Ketika bekerja di kebun Ford, Solomon memberikan kesan yang sangat baik sehingga menimbulkan ketidaksukaan penjaganya, Tibeats (Paul Dano). Suatu saat Solomon bertengkar dengan Tibeats hingga akhirnya Tibeats bersama kawanannya bermaksud menggantung solomon namun diselamatkan oleh penjaga ladang. Karena masalah itu, dan hutang yang dimiliki Ford, akhirnya Solomon dijual kepada Edward Epps (Michael Fassbender) seorang pemilik ladang kapas yang dikenal kejam kepada para budaknya. Kehidupan Solomon di kebun Epps ini lah yang akan menghantarkannya kembali kepada kemerdekaannya.

Amerika Serikat pada sekitar abad ke-18 hingga abad ke-19, masa sebelum perang sipil masih melegalkan perbudakan dalam konstitusinya. Perbudakan sejatinya tidak hanya terjadi di negara Amerika Serikat saja, kebanyakan negara-negara eropa dan beberapa negara jajahan juga melanggengkan praktik perbudakan di negaranya. Belanda, dan Spanyol juga termasuk salah satu negara eropa yang mengamini sistem perbudakan dalam perputaran ekonominya. Bagaimana cara negara-negara tersebut mendapatkan budak juga sangat tidak manusiawi, kebanyakan budak kebanyakan diculik dari benua asalnya. Melansir dari artikel History.com yang berjudul “Slavery in America”, para budak yang dipekerjakan di negara Amerika Serikat diculik dari Afrika yang diperuntukkan menjadi budak belian yang akan bekerja di ladang-ladang tembakau dan kapas disana. Banyak yang menganggap awal perbudakan di negara tersebut dimulai ketika The White Lion mengambil budak-budak yang dibawa oleh kapal penjelajah Portugis untuk dibawa bekerja di Koloni Inggris Jamestown, Virginia. Setelah perang revolusi Amerika, negara-negara bagian utara mengaitkan perbudakan dengan penjajahan oleh Inggris yang mereka alami, lalu menghapuskan perbudakan dari konstitusinya. Ada istilah eufemisme yang digunakan kepada para orang-orang yang diperbudak mereka, yaitu Person held to service or labor (Orang yang ditugaskan untuk bekerja).

Dalam usaha penghapusan perbudakan, Amerika Serikat mengalami waktu-waktu menegangkan, khususnya ketika belasan negara bagian yang berada di selatan menolak penghapusan tersebut. Dalam artikel VOI.id dipaparkan beberapa usaha Lincoln ketika menjabat presiden AS dalam menghapuskan perbudakan, mulai dari negosiasi dengan pemimpin negara Konfederasi Amerika hingga akhirnya memenangkan perang sipil. Namun, dalam usaha penghapusan perbudakan ini tidak dapat hanya dilihat dari usaha negara dalam penghapusannya. Penghapusan perbudakan yang dilakukan oleh negara AS tidak menjamin rasisme yang terjadi bertahun-tahun selanjutnya. Usaha penghapusan ini juga digerakkan oleh gerakan Abolisionis yang berada di AS, bahkan semangat untuk pembebasan ini dilakukan oleh para budak-budak itu sendiri. Pemberontakan yang dilakukan oleh para budak terjadi di banyak lokasi, yang paling ditakutkan oleh para tuan tanah adalah pemberontakan yang dilakukan oleh Nat Turner di Southampton County, Virginia.

Pemberontakan yang dilakukan oleh Nat terjadi pada 21 Agustus 1831, dibantu oleh empat orang budak lainnya yang akhirnya berhasil membunuh keluarga Travis dan berhasil merebut senjata dan kuda dari keluarga tersebut. Pemberontakan ini terjadi dan melibatkan sekitar 75 orang budak yang mengakibatkan 55 orang kulit putih terbunuh. Setelah Turner berhasil bersembunyi, ia ketahuan lalu digantung bersama 16 orang lainnya di Virginia. Pemberontakan inilah yang memantik pemberontakan lain dan perpecahan di antara tanah perbudakan dan tanah bebas yang akhirnya dibuatlah undang-undang tentang budak yang lebih ketat dan tidak memperbolehkan para budak untuk mendapat pendidikan. Perpecahan yang terjadi ini juga salah satu faktor terjadinya perang sipil di Amerika. Beberapa orang kulit putih di Amerika utara juga mengutuk perbudakan, sehingga dalam beberapa pemberontakan ataupun gerakan Abolisionis juga memiliki orang kulit putih sebagai pendukungnya.

Dalam cerita akhir film 12 Years a Slave juga menceritakan bahwa Solomon bertemu dengan Samuel Bass (Brad Pitt), seorang pengelana kulit putih dari Kanada yang mengutuk perbudakan, alasannya adalah dalam agama kristen, perbudakan yang dilakukan adalah sebuah dosa. Tak sengaja mendengar kritik dari Bass kepada Epps menyoal perbudakan, membuat Solomon berpikiran untuk meminta tolong kepada Bass agar menuliskan surat kepada Tuan Parker, kawannya di New York seorang kulit putih yang memiliki toko kelontong tempat Solomon dan keluarganya sering berbelanja. Walaupun Bass mengakui dirinya takut akan permintaan dari Solomon, namun ia berjanji akan tetap membantunya. Sampai akhirnya, di akhir film ini ketika Solomon sedang bekerja di ladang, ia didatangi oleh seorang polisi dan Tuan Parker yang menanyakan apakah ia mempunyai nama selain Platt, dan menanyakan apakah ia kenal dengan orang yang berada di dalam kereta kuda tersebut dan ia mengenali bahwa orang tersebut adalah Tuan Parker, kawannya dari New York. Epps yang tidak terima akan kejadian tersebut mencoba untuk mengadang mereka yang berjalan keluar dari perkebunan. Akhirnya, Solomon yang diantar oleh Tuan Parker kerumahnya meratapi rumahnya dengan tatapan sedih mulai berjalan memasuki rumah melihat anak laki-lakinya yang sudah tumbuh dewasa, istrinya, dan anak perempuannya yang telah memiliki suami dan anak.

Film ini diangkat dari kisah nyata yang dituangkan oleh Solomon sendiri ke dalam sebuah novel yang berjudul sama dengan film ini, 12 Years a Slave. Film ini mencoba untuk mengangkat kisah perbudakan yang dialami oleh orang-orang keturunan Afrika-Amerika, dan menjelaskan bagaimana para budak itu didapat dan dijual. Ada sedikit kekurangan yang membuat cerita film ini agak terpotong, yaitu ketika solomon dibuat mabuk oleh dua orang penipu yang menculiknya. Tidak ada adegan bagaimana solomon diculik dan dibawa ke tempat penampungan dan penjualan budak, sehingga ada satu unsur penting yang tidak terpampang didalam adegan film ini. Namun secara keseluruhan film ini lumayan membuat saya yang menontonnya merasakan amarah ketika melihat penculikan dan penyiksaan manusia yang dijadikan budak dalam film ini. Film ini menarik untuk ditonton jika ingin mengetahui sejarah perbudakan, namun saya sarankan untuk membaca artikel-artikel yang menjelaskan pula bagaimana perbudakan itu dihapuskan, mulai dari usaha Abraham Lincoln, gerakan abolisionis, dan jangan lupa juga pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan secara individu oleh para manusia yang telah muak diperbudak dan ditindas oleh manusia lainnya.