Sebab Kita Semua Gila Seks: Pendidikan seks dari studi empiris

Pada awalnya, saya berekspektasi agak ‘rendah’ ketika berniat membaca buku karya Esther Pandiangan ini. Mungkin karena saya yang kurang tau kiprahnya dalam berbicara mengenai seks. Saya berpikir buku ini akan menjadi buku kaku nan ilmiah yang membahas mengenai pendidikan seks, yang jujur akan sangat membosankan jika saya membacanya. Ternyata, ekspektasi dan asumsi saya sebegitu cepatnya dipatahkan oleh Esther hanya dengan membaca pengantar. Buku ini ditulis menggunalan bahasa dan ilustrasi-ilustrasi yang sangat telanjang, namun tetap nyaman dibaca. Bahasan serius mengenai seks di lingkungan kita, dibalut dengan cerita keseharian nan jenaka dengan didukung oleh pernyataan-pernyataan dari orang-orang di sekitar Esther.

Dengan gaya naratif dan alur yang longgar, cerita Esther dalam buku ini dimulai dengan kritiknya terhadap budaya masyarakat yang menganggap bahwa seks adalah hal tabu, dengan dibalut cerita kesehariannya ketika sedang bersama keluarganya. Dalam bab ini, ia menyatakan bahwa menabukan seks itu sendiri akan berakibat fatal kepada pola pikir dan budaya masyarakat. “Akibat menabukan seks” judul yang sangat gamblang digunakan sebagai bab pembuka, juga sangat tepat, karena ia menganggap bahwa menabukan seks akan berbahaya dan menimbulkan hal-hal yang tak diinginkan seperti IMS (Infeksi Menular Seksual), kehamilan yang tak diinginkan, hingga gangguan psikis, dan akibat-akibat lain yang akan diperjelas di bab-bab selanjutnya.

Berbicara soal akibat dari menabukan seks, saya sempat membaca artikel dari Reuters yang mengungkap mengenai survey yang dilakukan oleh beberapa organisasi mengenai kekerasan seksual. Survey tersebut mengeluarkan hasil yang cukup mencengangkan, bahwa 90% kekerasan seksual tidak dilaporkan, alasannya dikarenakan ketakutan akan penghakiman dan anggapan buruk dari publik jika kasusnya itu diketahui. 58% respondennya adalah perempuan, lalu diikuti oleh laki-laki dan transgender.

Memang, masalah seksual bukanlah sekedar masalah salah satu gender saja, namun ini masalah kita bersama. Dalam buku “Sebab kita semua gila seks” ini, Esther bermaksud mengajak para pembacanya untuk sedikit mempelajari hal-hal mengenai seksualitas yang dekat dengan kita, melalui sudut pandang Esther. Di bab-bab lain, ia juga menceritakan tentang laki-laki yang INSECURE dengan ukuran penisnya, atau alasan- alasan konyol dari orang-orang yang pernah ditemui Esther mengenai alasan kenapa mereka memilih seks tanpa kondom, bagaimana para lelaki mencari seks, hingga pengalaman Esther bercinta dengan makhluk halus. Mengenai bercinta dengan makhluk halus, memang tak masuk akal, bab ini saya anggap hanya sekadar intermezzo setelah agak serius membahas seks dengan makhluk yang dapat dilihat dan dirasakan secara fisik.

Jika mengingat buku ini adalah buku serius yang dibalut cerita yang agak lucu, menurut saya yang memang lucu dan dekat dengan kehidupan saya sendiri adalah berbagai alasan untuk tidak memakai kondom yang Esther dapatkan dari orang-orang ketika ditanya perihal mengapa mereka memilih untuk tidak memakai kondom. Alasan-alasan tersebut mengingatkan saya kepada teman-teman saya yang kebetulan menemukan bungkus kondom di kamar kos saya. Ada 1 yang paling mirip dengan alasan yang ada di buku ini, “Ini apaan? Kondom? Lo pake kondom? Dih, gue kaga demen dah pake kondom. Kayak ngewe ama balon rasanya.” Memang lucu mengingat kejadian itu, apalagi ketika membaca bab mengenai kondom dan ada alasan untuk tidak memakai kondom yang sama persis dengan alasan kawan saya. Maka dari itu, ketika saya katakan bahwa buku ini dekat dengan kehidupan itu sangat tepat menurut saya.

Bab akhir buku ini menceritakan keresahannya tentang anggapan para lelaki terhadap perempuan soal seks. Salah satunya mengenai perempuan yang merokok, bertato, suka minum alkohol, dan suka berbicara tentang seks itu dianggap ‘gampang diewe’. Dalam salah satu sub bab nya, Esther menepis anggapan itu dengan pukulan yang keras. Ia merasa resah ketika banyak laki-laki yang menganggapnya mudah untuk diajak bercinta hanya karena tato, rokok, alkohol, dan berbicara seks. Pengalamannya ketika berpergian menjadi salah satu momen ia mendapat ide untuk berbicara mengenai anggapan salah yang lumrah tersebut.

Buku ini sangat membuat saya penasaran hingga dalam waktu kurang dari sehari saya dapat membacanya hingga tuntas. Namun ‘vibe’ menyenangkan dari cerita Esther berubah menjadi serius pada bab akhir ketika esther menceritakan tentang tekanan mental nya. Sebagai penutup, mungkin tulisan ini juga sedikit mengingatkan untuk para pembaca bahwa ada sedikit ‘trigger warning’ pada bab akhir buku ini, yang jika dipadukan akan menjadi sebuah cerita menarik, serius, penuh pelajaran, namun tetap dengan pembawaan yang santai seperti sedang bercerita di sore hari sambil menikmati teh didepan rumah yang penuh dengan tanaman hias dengan cuaca yang ‘adem’ dan membuat nyaman.

Sekecoakén.

Perbudakan di Amerika Serikat: Sejarah awal hingga gerakan penghancurannya (Resensi Film 12 Years a Slave)

Film yang diangkat berdasar dari kisah nyata ini dimulai dengan menampilkan kehidupan seorang keturunan Afrika-Amerika yang terlahir merdeka bernama Solomon Northup (Chiwetel Ejiofor) sebelum akhirnya ia bertemu dengan 2 orang penipu yang mengaku sebagai penyelenggara sirkus yang ternyata berniat untuk menculik solomon untuk dijual di pasar budak.

Film ini berlatar pada tahun 1843 di Saratoga, New York, Amerika Serikat pada masa pra-perang sipil Amerika. Solomon adalah seorang violinis andal yang kiprahnya diakui di Saratoga. Hidupnya berubah drastis ketika suatu hari ia didatangi oleh penipu yang mengaku akan mengajaknya ke Washington D.C dan menawarkannya bayaran sebagai pemain biola. Sesampainya di Washington D.C, mereka bertiga makan dan meminum wine dengan sangat banyak dan Solomon masih tak menyadari gelagat dua orang aneh yang baru dikenalnya tersebut hingga akhirnya ia terkulai lemas karena mabuk. Dua orang penipu tersebut akhirnya membawa Solomon yang dalam keadaan tak sadarkan diri ke sebuah penampungan budak milik seorang bernama Burke. Ia hanya mendapatkan pukulan dan pecutan dari Burke ketika mencoba menjelaskan bahwa ia adalah manusia merdeka. Didalam penampungan tersebut ia bertemu dengan para budak lain yang akan dijual oleh Burke.

Singkat cerita, Solomon bersama yang lainnya sampai di New Orleans dan diberi nama “Platts” dengan latar belakang seorang budak yang kabur dari Georgia lalu dijual oleh Theophilus Freeman dan dibeli oleh William Ford (Benedict Cumberbatch) seorang pemilik kebun dari Louisiana.

Ketika bekerja di kebun Ford, Solomon memberikan kesan yang sangat baik sehingga menimbulkan ketidaksukaan penjaganya, Tibeats (Paul Dano). Suatu saat Solomon bertengkar dengan Tibeats hingga akhirnya Tibeats bersama kawanannya bermaksud menggantung solomon namun diselamatkan oleh penjaga ladang. Karena masalah itu, dan hutang yang dimiliki Ford, akhirnya Solomon dijual kepada Edward Epps (Michael Fassbender) seorang pemilik ladang kapas yang dikenal kejam kepada para budaknya. Kehidupan Solomon di kebun Epps ini lah yang akan menghantarkannya kembali kepada kemerdekaannya.

Amerika Serikat pada sekitar abad ke-18 hingga abad ke-19, masa sebelum perang sipil masih melegalkan perbudakan dalam konstitusinya. Perbudakan sejatinya tidak hanya terjadi di negara Amerika Serikat saja, kebanyakan negara-negara eropa dan beberapa negara jajahan juga melanggengkan praktik perbudakan di negaranya. Belanda, dan Spanyol juga termasuk salah satu negara eropa yang mengamini sistem perbudakan dalam perputaran ekonominya. Bagaimana cara negara-negara tersebut mendapatkan budak juga sangat tidak manusiawi, kebanyakan budak kebanyakan diculik dari benua asalnya. Melansir dari artikel History.com yang berjudul “Slavery in America”, para budak yang dipekerjakan di negara Amerika Serikat diculik dari Afrika yang diperuntukkan menjadi budak belian yang akan bekerja di ladang-ladang tembakau dan kapas disana. Banyak yang menganggap awal perbudakan di negara tersebut dimulai ketika The White Lion mengambil budak-budak yang dibawa oleh kapal penjelajah Portugis untuk dibawa bekerja di Koloni Inggris Jamestown, Virginia. Setelah perang revolusi Amerika, negara-negara bagian utara mengaitkan perbudakan dengan penjajahan oleh Inggris yang mereka alami, lalu menghapuskan perbudakan dari konstitusinya. Ada istilah eufemisme yang digunakan kepada para orang-orang yang diperbudak mereka, yaitu Person held to service or labor (Orang yang ditugaskan untuk bekerja).

Dalam usaha penghapusan perbudakan, Amerika Serikat mengalami waktu-waktu menegangkan, khususnya ketika belasan negara bagian yang berada di selatan menolak penghapusan tersebut. Dalam artikel VOI.id dipaparkan beberapa usaha Lincoln ketika menjabat presiden AS dalam menghapuskan perbudakan, mulai dari negosiasi dengan pemimpin negara Konfederasi Amerika hingga akhirnya memenangkan perang sipil. Namun, dalam usaha penghapusan perbudakan ini tidak dapat hanya dilihat dari usaha negara dalam penghapusannya. Penghapusan perbudakan yang dilakukan oleh negara AS tidak menjamin rasisme yang terjadi bertahun-tahun selanjutnya. Usaha penghapusan ini juga digerakkan oleh gerakan Abolisionis yang berada di AS, bahkan semangat untuk pembebasan ini dilakukan oleh para budak-budak itu sendiri. Pemberontakan yang dilakukan oleh para budak terjadi di banyak lokasi, yang paling ditakutkan oleh para tuan tanah adalah pemberontakan yang dilakukan oleh Nat Turner di Southampton County, Virginia.

Pemberontakan yang dilakukan oleh Nat terjadi pada 21 Agustus 1831, dibantu oleh empat orang budak lainnya yang akhirnya berhasil membunuh keluarga Travis dan berhasil merebut senjata dan kuda dari keluarga tersebut. Pemberontakan ini terjadi dan melibatkan sekitar 75 orang budak yang mengakibatkan 55 orang kulit putih terbunuh. Setelah Turner berhasil bersembunyi, ia ketahuan lalu digantung bersama 16 orang lainnya di Virginia. Pemberontakan inilah yang memantik pemberontakan lain dan perpecahan di antara tanah perbudakan dan tanah bebas yang akhirnya dibuatlah undang-undang tentang budak yang lebih ketat dan tidak memperbolehkan para budak untuk mendapat pendidikan. Perpecahan yang terjadi ini juga salah satu faktor terjadinya perang sipil di Amerika. Beberapa orang kulit putih di Amerika utara juga mengutuk perbudakan, sehingga dalam beberapa pemberontakan ataupun gerakan Abolisionis juga memiliki orang kulit putih sebagai pendukungnya.

Dalam cerita akhir film 12 Years a Slave juga menceritakan bahwa Solomon bertemu dengan Samuel Bass (Brad Pitt), seorang pengelana kulit putih dari Kanada yang mengutuk perbudakan, alasannya adalah dalam agama kristen, perbudakan yang dilakukan adalah sebuah dosa. Tak sengaja mendengar kritik dari Bass kepada Epps menyoal perbudakan, membuat Solomon berpikiran untuk meminta tolong kepada Bass agar menuliskan surat kepada Tuan Parker, kawannya di New York seorang kulit putih yang memiliki toko kelontong tempat Solomon dan keluarganya sering berbelanja. Walaupun Bass mengakui dirinya takut akan permintaan dari Solomon, namun ia berjanji akan tetap membantunya. Sampai akhirnya, di akhir film ini ketika Solomon sedang bekerja di ladang, ia didatangi oleh seorang polisi dan Tuan Parker yang menanyakan apakah ia mempunyai nama selain Platt, dan menanyakan apakah ia kenal dengan orang yang berada di dalam kereta kuda tersebut dan ia mengenali bahwa orang tersebut adalah Tuan Parker, kawannya dari New York. Epps yang tidak terima akan kejadian tersebut mencoba untuk mengadang mereka yang berjalan keluar dari perkebunan. Akhirnya, Solomon yang diantar oleh Tuan Parker kerumahnya meratapi rumahnya dengan tatapan sedih mulai berjalan memasuki rumah melihat anak laki-lakinya yang sudah tumbuh dewasa, istrinya, dan anak perempuannya yang telah memiliki suami dan anak.

Film ini diangkat dari kisah nyata yang dituangkan oleh Solomon sendiri ke dalam sebuah novel yang berjudul sama dengan film ini, 12 Years a Slave. Film ini mencoba untuk mengangkat kisah perbudakan yang dialami oleh orang-orang keturunan Afrika-Amerika, dan menjelaskan bagaimana para budak itu didapat dan dijual. Ada sedikit kekurangan yang membuat cerita film ini agak terpotong, yaitu ketika solomon dibuat mabuk oleh dua orang penipu yang menculiknya. Tidak ada adegan bagaimana solomon diculik dan dibawa ke tempat penampungan dan penjualan budak, sehingga ada satu unsur penting yang tidak terpampang didalam adegan film ini. Namun secara keseluruhan film ini lumayan membuat saya yang menontonnya merasakan amarah ketika melihat penculikan dan penyiksaan manusia yang dijadikan budak dalam film ini. Film ini menarik untuk ditonton jika ingin mengetahui sejarah perbudakan, namun saya sarankan untuk membaca artikel-artikel yang menjelaskan pula bagaimana perbudakan itu dihapuskan, mulai dari usaha Abraham Lincoln, gerakan abolisionis, dan jangan lupa juga pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan secara individu oleh para manusia yang telah muak diperbudak dan ditindas oleh manusia lainnya.

NAT TURNER: BUDAK PEMBANGKANG DARI VIRGINIA

Budaya perbudakan di Amerika Serikat terbentuk sejak dibawa oleh penjajah dari Eropa. Pembahasan mengenai perbudakan telah saya paparkan sedikit di tulisan saya yang sebelumnya sekaligus meringkas pengalaman dan pendapat saya ketika selesai menonton film 12 Years a Slave besutan Steve McQueen yang dirilis pada November 2013. Kali ini saya akan membahas mengenai seorang budak Insureksionis yang juga sempat saya bahas di tulisan sebelumnya, yaitu Nat Turner.

Nat Turner lahir di perkebunan Benjamin Turner di Southampton County, Virginia, Amerika Serikat, pada tahun 1800. Turner asalah seorang budak keturunan Afrika-Amerika yang orangtuanya dipekerjakan di perkebunan Turner, di Virginia. Ia diajarkan untuk membaca, menulis, dan beragama di perkebunan Turner. Menurut History.com, ia pernah dijual tiga kali pada waktu ia kecil dan disewa untuk John Travis pada 1820-an. Pengetahuan agama dan kebenciannya terhadap perbudakan diajarkan oleh ibunya ketika ia kecil. Setelah dijual kepada perkebunan lain, ilmu agamanya cenderung mengarah ke fanatisme dan ia mengaku mendapat pesan dari tuhan untuk menolong sesamanya keluar dari sistem perbudakan (Red: Memberontak). Bahkan hingga ia dianggap sebagai seorang nabi oleh pengikutnya.

Pada tahun 1831, setelah ia dijual kembali kepada seorang perajin bernama Joseph Travis, ia melihat gerhana dan merasa bahwa sudah waktunya ia melancarkan pemberontakannya. Pada saat itu, rencananya adalah merebut persenjataan di pusat pemerintahan di Jerusalem, Virginia, dan mengumpulkan orang-orang lain yang akan ia ajak untuk memberontak lalu bersembunyi di rawa-rawa sembelum melancarkan aksinya. Malam, 21 Agustus, bersama dengan pengikutnya yang telah ia percayai akan melancarkan dan mengkampanyekan pemusnahan total, membunuh Keluarga Travis pada saat mereka tidur dan melakukan pawai berdarah menuju Jerusalem, Virginia. Dilansir dari Britannica, Hanya dalam dua hari dan dua malam, mereka berhasil membunuh sehitar 60 orang kulit putih (Versi History.com 55 orang).

Kekurangan dari pemberontakan Turner hanyalah masalah disiplin mereka, dan hanya sekitar memiliki 75 orang budak yang mendukung pemberontakan mereka. Hal mengerikan terjadi pula kepada mereka ketika milisi lokal dan milisi kulit putih yang berjumlah sekitar 3.000 orang mendatangi mereka dan menghabisi mereka. Ada yang ditangkap dan dibunuh, dan sayangnya kejadian tersebut mengorbankan orang-orang kulit hitam tidak bersalah terbantai dalam kejadian tersebut dan kejadian menyusul. Turner berhasil melarikan diri selama enam bulan walau akhirnya ia tertangkap, dan digantung di Jerusalem, Virginia.

Pemberontakan ini menghapuskan stigma bahwa orang kulit hitam terlalu lemah dan puas dengan nasib mereka yang diperbudak, namun menumbuhkan stigma yang terlah ada pula bahwa orang-orang kulit hitam adalah sekumpulan orang barbarian yang tak beradab. Continue reading “NAT TURNER: BUDAK PEMBANGKANG DARI VIRGINIA”